Menakar Logika Kopi Sianida
Sejak mencuatnya
kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Januari silam, perkembangan proses di pengadilan,
dengan J yang kini ditetapkan sebagai terdakwa, selalu menarik perhatian
publik. Khalayak menanti, dengan segala dinamika, drama, suspens, dan ragam
kejutan yang ada, ke mana kasus ala novel kriminal best-seller ini bermuara.
Sementara itu, J bersikukuh tidak melakukan perbuatan seperti yang disangkakan.
Namun, sebagai langkah awal dalam proses penegakan hukum,
langkah aparat kepolisian dalam menetapkan J sebagai tersangka patut
diapresiasi. Ini penting dilakukan agar kasus pembunuhan tersebut tidak
bergulir liar di ruang publik. Jika hal
ini terjadi, tentu publik akan gaduh, Karena itu, penetapan J sebagai tersangka
mampu memperlihatkan kesungguhan polisi untuk menjawab kebutuhan masyarakat
akan rasa aman. Dalam hal ini, polisi berupaya sesegera mungkin meringkus orang
yang disangka sebagai pelaku kejahatan dan melakukan pemulihan keadilan bagi
keluarga korban.
Penetapan tersangka dalam setiap kasus kejahatan adalah
keniscayaan. Bahkan sudah sepatutnya aparat penegak hukum memiliki daftar nama-nama
yang terduga telah melakukan kejahatan. Namun, kiranya status ‘tersangka’ kerap
mengalami pemburukan makna ketika sampai di telinga publik.
Perempuan Cantik Dikubur dalam Septic Tank
Penculikan Sintya, Cermin Buat Orang Tua
Belajar dari Kasus Nurbaety
Letihkah Kita atau Sakitkah?
5 dari 7 Orang Satgas URC Dijadikan Tersangka
Status tersebut terbukti dapat menggiring opini publik. Saat
J masih berstatus sebagai tersangka, perlahan sentimen negatif terhadap J
berubah menjadi penghakiman publik. Dalam hal ini, penting kiranya ada upaya
untuk menjernihkan kembali pemahaman khalayak.
Kini J sedang menjalani proses di pengadilan dengan status
terdakwa. Namun, tidak ada jaminan, J selaku terdakwa, akan ditetapkan sebagai
terpidana.
Terdapat dua premis yang kini berputar-putar di ruang publik
dan sudah menjadi keyakinan sebagian khalayak. Pertama, J adalah pelaku. Kedua,
Mirna adalah korban. Kita tentu menanti ke mana kasus ini akan bergulir. Namun,
penting kiranya untuk sedikit menelisik berbagai pemikiran yang tampaknya
selama ini belum menyentuh pandangan publik dan kerja penegak hukum.
Anggapan J adalah pelaku bukan tanpa dasar. Publik menilai
kasus ini dengan bertitik tolak dari paradigma segitiga kejahatan, di mana pada
suatu aksi kejahatan tentu menyertakan tiga unsur penting, yakni sasaran,
lokasi, dan pelaku. Agar logika kasus pembunuhan mampu diterima nalar, publik
berupaya untuk memetakan ketiga unsur tersebut dan mengaitkannya pada temuan
kasat mata di tempat kejadian perkara.
Berdasarkan pemetaan logika berpikir tersebut, karena korban
berada di lokasi kejadian, terbentuklah asumsi pelakunya pun pasti berada di
sana. Paradigma ini tidak sepenuhnya keliru. Namun, pada kasus kopi sianida,
pemetaan logika tersebut menjadi cukup problematis.
Sebelum melancarkan aksinya, seseorang yang berniat
melakukan kejahatan terlebih dahulu mengkalkulasi kebutuhan alat (sumber daya)
kejahatan yang akan ia gunakan. Pelaku dapat menggunakan pisau, pistol,
celurit, parang, bahkan tangan kosong. Pemakaian instrumen tersebut memiliki
satu syarat, pelaku harus berhadap-hadapan dengan korbannya.
Karena memiliki ciri langsung dan berjarak dekat, serangan
yang dilakukan dengan instrumen tersebut bersifat frontal. Berbeda dengan
penggunaan racun.
Pelaku menggunakan racun, tidak lain, karena pelaku ingin
mengambil jarak dari korbannya. Ia tidak ingin mengonfrontasi korban secara
langsung. Ia tidak ingin korban mengetahui keberadaannya. Ia tidak ingin berada
di lokasi bersama korban. Ia tidak ingin bertemu dengan saksi mata dan terekam
gerak-geriknya oleh kamera pengawas. Dengan kata lain, pelaku berniat untuk
melakukan kejahatan sempurna. Misinya sederhana, sedemikian rupa Ia ingin lepas
dari pertanggungjawaban pidana yang akan ditimpakan kepadanya. Maka racun dipersepsikan
sebagai satu-satunya cara untuk menuntaskan motifnya.
Temuan di tempat kejadian perkara dan keterangan para saksi
jelas bertentangan dengan logika berpikir tersebut. Bagaimana mungkin, pelaku
memilih racun sebagai instrumen pembunuh, namun di waktu yang bersamaan
‘menunggui’ korbannya dalam jarak sedemikian dekat.
Atas logika tersebut, paradigma kejahatan dalam kaitannya
dengan kasus kopi sianida dapat dikoreksi. Korban berada di lokasi kejadian,
namun berkat sifat racun yang mampu memutus asosiasi antara pelaku dan korban,
pelaku mungkin tidak berada di lokasi kejadian. Dengan kata lain, pembubuh
racun, bagaimana pun cara racun itu masuk ke dalam tubuh korban, tidak berada
di satu meja dengan korban.
Pemetaan paradigma kejahatan tersebut di atas kemudian
disusul dengan penarikan kesimpulan hubungan sebab akibat yang berada pada
garis linear. Syarat mutlak pada penarikan kesimpulan linear tersebut adalah
tidak adanya faktor-faktor pengganggu di antara kedua titik.
Dalam konteks kasus kopi sianida, korban kehilangan nyawa
setelah meminum kopi beracun. Kesimpulannya, korban memang target incaran si
pembubuh racun. Namun, ada faktor pengganggu dalam logika tersebut.
Mustahil kiranya ada orang yang mengambil resiko membawa 15
gram zat berbahaya seperti sianida, lalu berniat untuk membunuh orang lain
dengan zat tersebut. Pelaku tentu berpikir secara rasional. Ia memerlukan
kesetimbangan antara target dengan instrumen kejahatannya. Logis jika ia
memilih instrumen yang senilai dengan sasarannya.
Sianida bukan zat yang bisa dengan mudah diperoleh di toko
swalayan. Di sekian banyak negara, calon pembeli perlu memasukkan data-data
tertentu yang berkaitan dengan kewenangan untuk membeli sianida. Singkatnya,
siapapun yang membeli akan dengan mudah dilacak. Ini menjadikan sianida sebagai
barang ekslusif yang tidak bisa sembarang orang peroleh.
Luar biasa jika sianida sedemikian gram, dipakai membunuh
orang di kafe, jauh di atas takaran yang sudah cukup untuk membuat manusia
tewas seketika. Dalam hal ini, sianida 15 gram tidak sebanding dengan korban.
Kita sepakat, sebagaimana manusia lain, nyawa korban tak
ternilai harganya. Namun, dari segi status sosial, korban hanya individu biasa
seperti kebanyakan orang. Bukan pejabat prestisius, terlibat skandal, atau
ciri-ciri status sosial tinggi lainnya. Fakta ini menunjukkan, kasus kopi
sianida bukan kejahatan yang rasional dalam sebuah pembunuhan yang disebut
berencana.
Maka penarikan kesimpulan tak linear dapat diajukan. Boleh
jadi sianida sekian belas gram tidak ditujukan kepada korban. Patut diduga
kalau korban merupakan korban salah sasaran. Korban hanya berada di waktu yang
salah, tempat yang salah, dan sedemikian rupa meminum zat yang kiranya
dialamatkan untuk target sesungguhnya.
Kepada aparat penegak hukum kita percayakan kasus ini untuk
diselesaikan dengan seadil-adilnya. (Tempo.Co)
loading...
Post a Comment