Pesugihan Putri Ulat Bulu
Suara Pantura-Jalan
pintas sering diambil orang demi mendapatkan kekayaan secara instan. Tidak
peduli jalan tersebut sesat yang penting bisa menikmati hidup dengan kekayaan
melimpah ruah. Pesugihan, menjadi salah satu pilihan untuk mereguk kenikmatan
duniawi yang sesungguhnya hanya sesaat. Kisah Warta (56 tahun) menjadi bukti
nyata bahwa praktek pesugihan memang benar adanya. Dan semua itu berakhir
tragis.
Kehidupan yang pas-pasan membuat Warta dikucilkan
lingkungannya. Tetangga kiri-kanan seolah mencibir keadaan ekonomi pria
tersebut yang benar-benar jauh dari standar minimal.
“Aku benar-benar orang yang sangat terhinakan di kampung
ini,” gumam Warta suatu ketika.
Ia merasa tidak ‘genah’ lagi perjalanan hidupnya dari hari
ke hari dikungkung kemiskinan. ia sudah tidak tahu lagi cara apa yang harus
ditempuh untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Warta merasa sudah tidak
punya muka untuk sekadar bertemu dengan tetangga.
Keluhan batin laki-laki yang kesehariannya bekerja serabutan
itu agaknya dialami pula oleh sang istri. Sebut saja namanya Tuti (42), sang
istri tercinta, juga dilanda rasa bosan hidup dalam serba kesusahan.
Keimanan pasangan suami istri itupun goyah. Atas saran
seorang sahabat lama, Warta disarankan untuk menemui orang pintar di sebuah
kota kecil di Selatan Jawa Barat. Sang teman bilang, orang pintar tersebut
sudah kondang di kota itu sebagai ‘dewa’ penolong bagi mereka yang mengalami
kesusahan di berbagai hal.
Tidak lagi berpikir panjang dan tidak pula menimbang baik
maupun buruk saran si teman tadi, Warta segera mencari uang untuk ongkos naik
bus menuju kota tempat tinggal si orang pintar.
Alhasil, selepas ashar, Warta tiba di kota tempat si orang
pintar tinggal. Pintu rumah ia ketuk. Kali ini terdengar suara orang berdehem
pelan dari balik pintu. Sedetik kemudian daun pintu terbuka lebar dan
menunjukkan seraut wajah yang sudah dipenuhi gurat ketuaan.
“Masuklah, anak muda,” sambut orang tua menyilakan Warta
masuk ke dalam rumah.
“Duduklah,” ujar si orang tua yang mengenalkan namanya ‘Mbah
Jenggot’. Jenggot orang tua itu memang sangat lebat, tumbuh hingga batas
dadanya.
“Terima kasih, Mbah,” ujar Warta sambil duduk di atas
hamparan karpet plastik. Tepat di depan laki-laki itu terpasang sebuah ‘meja
kerja’ lengkap dengan segala aksesoris yang lazim dipakai oleh penganut
perdukunan. Sebuah kaleng bekas biskuit berisi pasir dijadikan si penghuni
rumah sebagai tempat menyimpan lidi dupa.
“Maneh (kamu, bhs Sunda) sedang dalam kesusahan ya? Datang
kemari untuk minta tolong pada Mbah ‘kan?” kata Mbah Jenggot sambil menatap
dalam-dalam tamu yang duduk di depannya.
“Benar, Mbah. Aku sedang dirundung kesusahan,” ujar Warta
bermaksud menceritakan tujuannya datang ke rumah Mbah Jenggot.
“Ya…ya… Mbah tahu itu. Anak buah Mbah sudah bilang bahwa
maneh akan datang ke sini untuk minta tolong,” potong Mbah Jenggot semakin
membuat Warta takjub.
Tidak jelas apa yang dilakukan oleh Mbah Jenggot terhadap
tamunya itu. Namun yang jelas adalah saat itu juga Warta tidak diperkenankan
pulang oleh Mbah Jenggot. Karena malam itu juga dipandang sebagai saat yang
paling tepat buat Warta melakukan suatu ritual.
“Malam ini kamu tidur di kamar tengah sana. Tetapi jangan
kaget bila sesuatu akan terjadi menjelang tengah malam nanti. Kalau kamu sampai
lari ketakutan, maka semua yang kamu inginkan akan buyar,” ujar Mbah Jenggot
sebelum mengantarkan tamunya menuju kamar.
Warta tidak sempat melihat jam berapa ketika dirinya mulai
rebahan di atas balai-balai di dalam kamar. Redupnya lampu templok membuat
matanya tidak bisa melihat jelas jarum jam yang tergantung di dinding rumah
Mbah Jenggot.
Di luar sana terdengar kelepak kelelawar mencari mangsa.
Suara burung hantu terdengar di atas pohon dekat jendela kamar tempat tidur
Warta. Suasana seperti itu jelas membuat mata Warta sulit diajak tidur. Bahkan
laki-laki itu sekarang dilanda rasa gelisah yang sangat. Lebih-lebih ketika
sekonyong-konyong dari sela-sela jendela kamar bertiup angin dingin, membuat
rasa gelisahnya berubah jadi rasa takut yang bukan kepalang.
Wuuuss…! Segumpal asap muncul dari salah satu sudut kamar.
Demi melihat fenomena yang tidak lazim itu, bulu kuduk Warta semakin berdiri.
Gumpalan asap membumbung ke sana-sini. Kamar pun nyaris
tertutup asap putih. Lalu sekonyong-konyong gumpalan asap berubah beku laksana
salju. sebelum akhirnya mewujud menjadi seekor ulat bulu. Ukuran tubuh ulat
bulu tersebut benar-benar tidak lazim. Mula-mula berukuran normal, namun lambat
laun berubah jadi sebesar anak kambing dan terus membengkak hingga sebesar
gulungan kasur.
Bulu-bulu kasar menutupi hampir sekujur tubuh ulat bulu.
Melihat fenomena yang tidak wajar, mencekam, seperti itu, kini Warta tidak lagi
punya keinginan untuk melarikan diri dari dalam kamar. Karena rasa takut yang
sangat telah membuat tubuh laki-laki itu berubah.
Bulu-bulu kasar menutupi hampir sekujur tubuh ulat bulu.
Melihat fenomena yang tidak wajar, mencekam, seperti itu, kini Warta tidak lagi
punya keinginan untuk melarikan diri dari dalam kamar. Karena rasa takut yang
sangat telah membuat tubuh laki-laki itu berubah jadi kaku. Semua sendi di
tubuhnya serasa sulit untuk digerakkan. Tubuhnya seperti merekat kuat di atas
balai-balai.
Sang ulat bulu pun merayap perlahan menghampiri Warta yang
menggulung diri di atas balai-balai. Lalu serta-merta kaki-kaki ulat bulu itu
mencengkeram dan menindih tubuh Warta yang nyaris mati karena ketakutan.
Akhirnya, Warta pun cuma bisa pasrah. la mengira saat itulah dirinya akan
dicabut nyawa oleh ulat bulu berukuran raksasa.
Entah berapa lama si ulat bulu tidak lazim itu “bertengger”
di atas tubuh Warta. Lendir berbau wangur dari tubuh ulat bulu tercium
menyengat di hidung laki-laki itu. Ia pun kini dalam keadaan setengah semaput
alias hampir tidak sadarkan diri karena ketakutan.
Namun lambat laun Warta merasakan ada perubahan yang tidak
masuk akal pada ulat bulu. Tubuh ulat bulu yang semula meraksasa secara
perlahan-lahan menyusut kecil. Bulu-bulu kasar di tubuhnya satu per satu hilang
entah kemana dan sebagai gantinya adalah bulu-bulu lembut laksana bulu kelinci
Australia. Bahkan perubahan ulat bulu bukan hanya sampai di situ. Wangi
tubuhnya pun kini berubah jadi aroma eksotis yang sangat menggoda selera
birahi. Lebih dari itu, dari mulut si ulat bulu kini terdengar dengusan pelan
yang terdengar di telinga Warta sangat menantang kelaki-lakiannya.
Warta mencoba memberanikan diri dengan membuka kelopak
matanya. Meski dengan tubuh menggulung di atas balai-balai, ia bisa merasakan
sentuhan kulit lembut seorang gadis cantik di atas tubuhnya. Benar, kini tubuh
ulat bulu telah berubah jadi sesosok perempuan cantik laksana bidadari yang
turun dari khayangan. Kaki kasar ulat bulu telah berubah jadi jemari lentik
yang menelusuri setiap lekuk tubuh Warta. Rambut wangi perempuan cantik itu
menyapu wajah Warta.
“Berikan aku kehangatan, wahai pria jantan,” begitu desah si
perempuan cantik yang kini memeluk erat tubuh Warta.
Entah berapa lama keduanya bergumul dalam “pertempuran” luar
biasa, namun sesungguhnya tidak lazim itu. Dan ketika sang perempuan cantik
telah mencapai titik klimaks, Warta merasakan ada sesuatu yang keluar dari
bagian bawah perut perempuan yang digumulinya itu. Dari bagian tubuh perempuan
itu ternyata keluar buliran-buliran bulat sebesar biji kelereng. Seiring dengan
selesainya permainan asmara yang sangat membara, tubuh si perempuan ayu itu pun
menggelosor menjauhi balai-balai. Tubuh cantik semampai itu pun pergi ke sudut
kamar untuk kemudian secara perlahan berubah kembali menjadi gumpalan asap
putih. Sebelum asap itu benar-benar hilang dari redupnya cahaya lampu templok,
Warta sempat melihat bagian tubuh si perempuan kembali ke wujud semula. Ya,
perempuan itu menghilang dalam bentuk aslinya sebagai ulat bulu.
Cerita pun terus bergulir. Ritual nyeleneh yang dilakukan
Warta di
rumah Mbah Jenggot secara perlahan namun pasti telah
mengubah kehidupan laki-laki itu. ia bersama sang istri untuk beberapa lama
hijrah keluar kampung guna menghindari kecurigaan para tetangga. Rumah mereka
yang nyaris ambruk sengaja mereka tinggalkan begitu saja. Sandiwara pun semakin
dilengkapi oleh kedua pasangan suami istri itu dengan mengunjungi rumah Ketua
RT setempat.
“Untuk beberapa lama kami terpaksa harus meninggalkan
kampung ini, Pak RT. Kebetulan di luar Jawa ada kerabat jauh yang minta kami
bekerja di perusahaan miliknya,” kata Warta berpamitan kepada tetua kampung. Ia
bersandiwara seolah-olah benar hendak pergi ke luar Jawa untuk bekerja.
“Syukurlah bila demikian adanya, Pak Warta. Saya ikut senang
mendengar kalian berdua sudah punya pekerjaan yang pasti,” sahut Ketua RT
sambil wanti-wanti berpesan agar Warta tetap menjalin komunikasi.
“Terima kasih, Pak RT. Doakan saja kami agar bisa sukses di
perantauan nanti.” kata Warta dengan penuh takzim.
Warta sesungguhnya tidak perlu lagi harus bekerja keras
mencari nafkah. ia tidak perlu lagi bekerja serabutan hanya untuk mendapatkan
uang beberapa ribu rupiah. Yang ia kerjakan sekarang cukup hanya menyediakan
sebuah kamar kosong, sejumlah umbo rampe, dan sebatang lilin warna merah yang
biasa digunakan dalam ritual peribadatan agama tertentu. Tidak perlu harus ada
mantera-mantera yang harus ia baca.
Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan. Hampir genap setahun Warta telah mengubah rumah kumuhnya menjadi sebuah
rumah mewah. Perabot mahal melengkapi rumah Warta sekarang. Kepada tetangga
yang dulu mencibir dirinya, ia mengaku kini bekerja di sebuah proyek swasta
dengan penghasilan yang lebih dari lumayan. Bahkan bukan hanya itu,
Warta juga mengaku dipercaya oleh kerabatnya untuk mengelola
sebuah badan usaha yang bergerak di bidang properti dan infrastruktur. Hebatnya
lagi, dengan kekayaan harta yang berlimpah Warta maupun istrinya jadi gemar
berderma.
Namun demikian para tetangga melihat ada perubahan drastis
pada diri Warta. Mereka melihat meski sekarang kehidupan Warta telah jauh
berbeda dibanding dulu, namun laki-laki tersebut kini berubah perangai jadi
seperti pemurung. Warta yang dulu selalu ceria, kini jadi lebih banyak diam.
Bobot tubuhnya pun melorot drastis sehingga membuat Warta kurus dan pucat. Tuti
istrinya pun sekarang jarang keluar rumah. Ia lebih banyak mengurung diri di
dalam rumah daripada bertandang ke rumah tetangga, seperti yang dulu
dilakukannya. Memang Warta sempat mendengar kasak-kusuk tetangga perihal
perubahan fisik yang dialaminya. Ia juga mendengar gunjingan mereka soal
pesugihan yang dilakukannya. “Suamiku bukannya sombong. Tenaga dan pikiran
harus tercurah kepada semua pekerjaan di kantor. Makanya suami aku jadi
langsing.”
Fisik Warta pun kian ambruk. Hingga pada suatu ketika ia
memanggil istrinya.
“Aku sudah tidak sanggup lagi melakukan semua ini,” ujar
Warta seraya mengeluhkan beberapa sendi tubuhnya yang serasa lepas.
“Kita pergi berobat saja ke dokter ya, Pak? Supaya sakit
Bapak bisa sembuh seperti sedia kala,” sahut sang istri seperti menyimpan
kekhawatiran suaminya akan berhenti melakukan ritual pada malam- malam
tertentu.
“Dokter tidak mungkin bisa menyembuhkan penyakitku ini.
Satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan hanya Mbah Jenggot. Tapi itu tidak
mungkin aku lakukan karena beliau sekarang sudah tiada,” kata Warta seraya
berpikir mencari jalan untuk lolos dari jeratan perempuan siluman putri ulat
bulu.
Alhasil, idepun terlintas di benak Warta. Yakni, kamar
tempat ritual ia bongkar sedemikian rupa jadi acak-acakan. Di sana tidak lagi
dipasangi wewangian parfum jenis tertentu yang disukai oleh “kekasih” gaibnya.
Kasur dan tempat tidur pun digantinya dengan ranjang kayu yang sudah usang.
Namun ide Warta yang cemerlang itu rupanya tidak berarti
apa-apa. Buktinya pada malam Jumat pekan lalu sang siluman tetap bertandang ke
kamar untuk minta dipuaskan syahwatnya.
“Warta, kemarilah,” rengek perempuan siluman mencari Warta
yang malam itu sengaja memilih tidur bersama istrinya di kamar depan.
“Kamu telah mengkhianati perjanjian Warta,” kata siluman
ulat bulu geram. Sedetik kemudian tubuh ulat bulu melompat ke depan dan
mencekik leher Warta.
Sekujur tubuh laki-laki itu pun dicabik-cabik dengan
sengatnya yang mematikan. Nasib serupa dialami istri Warta. Perempuan yang
sudah terbius kemewahan duniawi sesaat itu mati dalam kondisi tubuh yang sangat
mengenaskan. Teriakan minta tolong hanya berhenti sampai tenggorakan mereka.
Keesokkan harinya seisi kampung pun dibuat geger. Aparat
kampung, polisi, dan sejumlah wartawan datang ke rumah Warta yang terletak di
ujung desa. Masing-masing mencari tahu penyebab kematian tragis yang dialami
oleh pasangan suami istri tersebut.
Namun hingga cerita ini ditulis, mereka tidak menemukan
pelaku pembunuhan sadis itu.(liputan6.com)
loading...
Post a Comment