KPK Akui Tidak Jadikan Adik Ipar Jokowi Saksi Kasus Suap PT EKP, Ada Apa Ini ?
JAKARTA - Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) diam-diam pernah memeriksa pihak swasta bernama
Arif Budi Sulistyo dalam kasus dugaan suap penghapusan pajak PT Eka Prima
Ekspor Indonesia.
Arif yang merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo itu
diperiksa pada pertengahan Januari 2017 lalu.
Jurubicara KPK Febri Diansyah mengakui pihaknya tak
memasukkan nama Arif dalam jadwal pemeriksaan saksi-saksi dalam penanganan
perkara kasus dugaan suap penghapusan pajak lantaran strategi penyidik.
Menurut Febri, penyidik memiliki kepentingan untuk tidak
memasukkan nama saksi Arif agar bisa merampungkan berkas pemeriksaan PT EKP
Ramapanicker Rajamohanan Nair ke kursi pesakitan.
"Strategi penyidikan agar penyidik fokus substansi
penanganan perkara dan sampai bisa menyusun dakwaan untuk tersangka yang jadi
terdakwa," ungkapnya di Kantornya, jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan,
Selasa (14/2).
Lebih lanjut Febri membantah bahwa tidak dimasukkan nama
Arif dalam jadwal pemeriksaan merupakan kepentingan politik pemerintahan
Jokowi.
Febri kembali menegaskan, tidak masuknya nama Arif dijadwal
pemeriksaan demi kepentingan penyidikan.
Sebelumnya dalam surat dakwaan bos PT EKP Ramapanicker
Rajamohanan Nair muncul nama Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi dan
Arif Budi Sulistyo.
Keduanya disinyalir turut berandil dalam kasus dugaan suap
terkait penghapusan pajak PT Eka Prima Ekspor Indonesia senilai puluhan miliar
rupiah.
Dalam surat dakwaan jaksa, terungkap bahwa Ken dan Arif
pernah melakukan pertemuan di Kantor Ditjen Pajak pada 23 September 2016.
Pertemuan itu sendiri datang dari Arif yang disampaikan
kepada Handang melalui temannya sekaligus Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Muhammad
Hanif. Handang kemudian mengabulkan permintaan Arif yang juga kenal dengan
Rajamohanan.
"Pada tanggal 22 September 2016, Muhammad Haniv bertemu
dengan Handang Soekarno kemudian Muhammad Haniv menyampaikan keinginan Arif
Budi Sulistyo supaya dipertemukan dengan Ken Dwijugiasteadi selaku Direktur
Jenderal Pajak.
Keesokan harinya tanggal 23 September 2016 Handang Soekarno
mempertemukan Arif Budi Sulistyo dengan Ken Dwijugiasteadi di Lantai 5 Gedung
Dirjen Pajak," ungkap jaksa KPK saat membacakan dakwaan di Pengadilan
Tipikor Jakarta, jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (13/2).
Pertemuan itu berbuntut keputusan yang menguntungkan
perusahaan Rajamohanan. Yakni, penghapusan tunggakan kewajiban pajak PT Eka
Prima Ekspor Indonesia senilai Rp 52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014,
dan Rp 26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015.
Selanjutnya Muhammad Haniv selaku Kepala Kantor Wilayah DJP
Jakarta Khusus atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Nomor: KEP- 07997/NKEP/WPJ.07/2016 tertanggal 2 November 2016 tentang
Pembatalan Surat Tagihan Pajak Nomor: 00270/107/14/059/16 tanggal 06 September
2016 masa pajak Desember 2014 atas nama Wajib Pajak PT EKP
Ia juga menerbitkan Surat Keputusan
Nomor:KEP-08022/NKEP/WPJ.07/2016 tertanggal 3 November 2016 tentang Pembatalan
Surat Tagihan Pajak Nomor : 00389/107/14/059/16 tanggal 06 September 2016 masa
pajak Desember 2015 atas nama Wajib Pajak PT EKP, yang mana kedua surat
keputusan tersebut
diterima terdakwa pada tanggal 7 November 2016.
Sebelum diterbitkannya surat keputusan itu, perusahaan
Rajamohanan yang terafiliasi dalam Lulu Group itu memang menghadapi persoalan
pajak. Diantaranya terkait restitusi pajak sebesar Rp 3,5 miliar pada periode
Januari 2012-Desember 2014.
Kemudian permohonan atas restitusi itu diajukan pada 26
Agustus 2015 ke KPP PMA Enam. Akan tetapi, permohonan restitusi itu ditolak
lantaran PT EKP ternyata memiliki tunggakan pajak sebesar Rp 52,3 miliar untuk
masa pajak Desember 2014 dan Rp 26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015.
Tunggakan itu sebagaimana tercantum dalam surat tagihan
pajak dan pertambahan nilai (STP PPN) tanggal 6 September 2016.
Selain itu, KPP PMA Enam juga mengeluarkan surat Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Dasar pencabut itu ditenggarai
lantaran PT EKP tidak menggunakan PKP sesuai ketentuan.
"Sehingga ada indikasi restitusi yang diajukan tidak
sebagaimana semestinya," ujar jaksa.
Atas persoalan itu, Rajamohanan lantas meminta bantuan
Muhammad Haniv selaku Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus agar membatalkan
tunggakan STP PPN tersebut. Kepada Rajamohanan, Haniv menyarankan agar PT EKP
membuat surat pengaktifan PKP ke KPP PMA Enam.
Setelah pertemuan di Lantai 5 Gedung Ditjen Pajak itu, Haniv
memerintahkan Kepala KPP PMA Enam Johnny Sirait agar membatalkan surat
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Diduga, titah
tersebut merupakan arahan dari Ken.
Terkait upaya penghapusan pajak PT EKP, Rajamohanan menjanjikan Handang uang senilai
Rp 6 miliar. Namun, saat baru terjadi penyerahan pertama sebesar Rp 1,9 miliar
yang kemudian ditukarkan menjadi 148.500 dolar AS, Handang dan Rajamohanan
ditangkap oleh petugas KPK.
Jaksa menyebut, pemberian uang sebesar Rp 6 miliar itu tidak
hanya untuk Handang. Sebagian uang, kata jaksa, diperuntukan buat Muhammad
Haniv.
"Terdakwa menegaskan bahwa uang yang akan diserahkan
terdakwa sebesar Rp 6 miliar, sudah termasuk untuk Muhammad Haniv," tandas
jaksa. (rmol)
loading...
Post a Comment