Jokowi serahkan nasib Ahok di Jakarta ke Mahkamah Agung
Jakarta - Basuki
Tjahaja Purnama ( Ahok) kembali bikin gonjang ganjing jagat politik Tanah Air.
Belum selesai kasus penistaan agama di sidang, kembali Ahok menjadi gubernur
DKI Jakarta usai cuti kampanye kembali jadi polemik.
Pemerintah terancam mendapat hak angket dari DPR karena tak
menonaktifkan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo dinilai tak pantas membiarkan Ahok kembali jabat orang nomor satu di
DKI. Sebab, Ahok sudah berstatus sebagai terdakwa penistaan agama.
DPR bahkan sudah mengumpulkan 90 tanda tangan untuk
menyelidiki dugaan kesewenangan pemerintah tak menonaktifkan Ahok. Meski hak
angket ini masih sangat panjang untuk menyatakan pemerintah salah atau tidak,
tapi hal ini bisa berujung pada hak menyatakan pendapat dan lengsernya
pemerintah berkuasa.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri tak mau ikut
berpolemik tentang kontestasi Pilgub DKI, termasuk kembalinya Ahok sebagai
Gubernur DKI. Akan tetapi, Jokowi berkomitmen untuk menjaga netralitasnya di
Pilkada serentak.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengakui bahwa
polemik Ahok ini multi tafsir, termasuk Jokowi pun memandang demikian. Karena
itu, menurut dia, Jokowi menyerahkan tafsir tersebut kepada Mahkamah Agung.
"Bahkan Presiden sendiri betul-betul memahami menyadari
banyak tafsir itu bahkan beliau meminta Mendagri untuk minta pandangan resmi
dari MA. Nah kalau sudah ada pandangan resmi MA, maka laksanakan apa yang
menjadi pandangan resmi itu," kata Haedar usai bertemu Jokowi di Kompleks
Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/2) kemarin.
Pengusul angket yang diberi nama 'Ahok Gate' itu terdiri
dari empat fraksi di DPR yakni, Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat dan PAN.
Mereka menilai pemerintah mengistimewakan Ahok. Sebab, banyak kasus kepala
daerah langsung diberhentikan setelah menyandang status terdakwa.
Pengusul hak angket ini menilai, pemerintah melanggar Pasal
83 Ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Serta Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penistaan
agama.
Haedar menjelaskan, di tengah polemik status Ahok yang
diperdebatkan tersebut, maka pandangan dari MA dianggap sebagai jalan keluar.
Apabila MA telah mengeluarkan pandangannya, ia berharap semua pihak untuk
menghormatinya.
"Saya pikir itu merupakan langkah yang cukup elegan,
jadi di tengah banyak tafsir tentang aktif nonaktif ini, maka jalan terbaik
adalah meminta fatwa MA," ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sendiri mengakui bahwa
dirinya akan berkonsultasi dengan Mahkamah Agung lebih dulu pada Selasa (14/2)
pagi ini. Langkah ini diambil karena ada perbedaan tafsir hukum atas pencopotan
Ahok.
Tjahjo menjelaskan, alasan belum menonaktifkan Ahok karena
jaksa penuntut umum (JPU) menuntut dengan dakwaan alternatif. Dakwaan primer,
jaksa menjerat Ahok dengan Pasal 156a KUHP ancaman penjara maksimal 5 tahun.
Sedangkan, dakwaan alternatif kedua yakni Pasal 156 KUHP dengan ancaman maksimal
4 tahun.
Sementara di UU, kepala daerah yang dituntut 5 tahun harus
dinonaktifkan. Mendagri pun beralasan, tak dinoaktifkannya Ahok menunggu Jaksa
membacakan tuntutan.
"Kami mau inventarisir semua masalah, kami baru pertama
kali, pengalaman saya menandatangani surat pemberhentian kepala daerah maupun
tidak diberhentikan kasus sebagai terdakwa atau tidak, baru ini ada alternatif.
Apakah ini salah atau benar? Semua orang punya tafsir, maka dari itu kami minta
kepada MA yang lebih fair," kata Tjahjo. [Merdeka.com]
loading...
Post a Comment