Header Ads

Pengamat: Hak Angket Ahok Akan Sama Nasibnya Seperti Hak Angket Penyadapan SBY

Jakarta - Pengamat Politik Formappi Sebastian Salang, menilai wacana penguliran hak angket soal Ahok akan bernasib sama seperti hak angket soal penyadapan.

Diketahui, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berencana menggulirkan hak angket terkait kembalinya Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta meski berstatus terdakwa kasus dugaan penistaan agama.

Sebelum wacana hak angket Ahok, Partai Demokrat juga pernah menginisiasi untuk menggulirkan hak angket penyadapan Presiden keenam dan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebastian melihat tidak akan ada kejelasan ujung pangkal nasib hak angket tersebut nantinya.

"Akan bernasib sama dengan Angket yang diusulkan Demokrat. Hingga sekarang nasib angket penyadapan SBY tidak jelas ujung pangkalnya," ujar Sebastian Salang kepada Tribunnews.com, Minggu (12/2/2017).

Untuk itu pula Sebastian Salang meragukan keseriusan upaya PKS untuk mendorong Hak Angket Ahok di parlemen.

Sebab untuk mencapai tujuan angket itu, PKS harus bekerja keras meyakinkan fraksi fraksi lain di DPR.

Selain itu PKS harus memiliki data dan argumentasi yang kuat terkait itu, jika tidak akan berhenti di tengah jalan.

"Tetapi kalau sasarannya hanya sebagai sebuah gerakan politik bisa saja. Artinya upaya ini hanya untuk mendapat perhatian publik. Soal kelanjutannya seperti apa, tidak penting," kata Sebastian Salang.

Bahkan Sebastian Salang khawatir, upaya menggulirkan hak angket ini hanya terkait pilkada.

"Gencarnya hanya sampai tanggal 15 Februari nanti. Pasca-pemungutan suara, gerakan itu pun selesai," ucap Sebastian Salang.

Bila itu yang terjadi menurutnya hal ini kurang sehat, jika DPR menjadikan Angket sebagai alat menekan atau alat tawar menawar politik.

Sebaiknya, DPR mengundang Menteri dalam negeri untuk meminta penjelasan soal itu.

Jika penjelasan Mendagri dianggap tidak cukup atau bertentangan dengan peraturan perundang undangan baru dipertimbangkan langkah berikutnya.

"Mungkin saja hanya perbedaan panfsiran atau mispersepsi saja. Jadi tak perlu angket. Saya kira pemerintah sangat mengerti peraturan perundang-undangan, jadi langkah yang diambil pasti tidak bermaksud melanggar UU. Karena itu perluasan dialog soal ini antara DPR dengan pemerintah," katanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Almuzzammil Yusuf menegaskan DPR dapat menggunakan Hak Angket jika Presiden RI tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI, sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1,2, dan 3.

“Setelah menerima kajian dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat, tokoh masyarakat, dan para pakar tentang pengabaian pemberhentian terdakwa BTP dari jabatan Gubernur DKI oleh Presiden, maka DPR RI dapat menggunakan fungsi pengawasannya dengan menggunakan hak angket terhadap pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Pasal 83 Ayat 1,2, dan 3,” tegas Almuzzammil dalam keterangan pers, Sabtu (11/2/2017).

Menurut Almuzzammil, berdasarkan Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 Presiden RI berkewajiban mengeluarkan surat keputusan tentang pemberhentian sementara sampai status hukumnya bersifat tetap bagi gubernur yang berstatus sebagai terdakwa yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.

“Sudah cukup bukti dan dasar hukum bagi Presiden untuk memberhentikan sementara BTP dari jabatan Gubernur DKI. Pertama, status BTP sudah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kedua, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun,” kata Muzzammil itu.

Almuzzammil mengatakan seharusnya Presiden tidak diskriminatif dengan memperlakukan kebijakan yang sama sesuai peraturan perundang-undangan.

Hal itu karena pada kasus mantan Gubenur Banten dan mantan Gubernur Sumut yang terkena kasus hukum setelah keluar surat register perkara dari pengadilan, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara.

Jika kebijakan ini tidak dilakukan, tegas Almuzzammil, maka bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


“Kasus ini sudah mendapat perhatian publik yang luas. Publik bertanya-tanya kenapa dalam kasus BTP, Presiden menunda-nunda, tidak segera mengeluarkan surat pemberhentian sementara padahal cuti kampanyenya segera berakhir dan masa jabatan PLT Gubernur DKI juga segera berakhir,” ujar Politikus PKS itu.( TRIBUNNEWS.COM)
loading...

No comments